Kemuliaan Kaum Anshar

Seusai perang Hunain, Rasulullah saw membagi-bagi harta rampasan kepada yang berhak secara adil dan bijaksana. Abu Sufyan bin Harb, tokoh penentang Islam sejak awal dakwah di Makah itu, telah mendapatkan bagian seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid dan Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan, mendapat bagian yang sama dengan bapaknya. Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau memberikan bagian seratus ekor unta. Adapula yang lain mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu. Hampir seluruh kaum muallaf Makkah yang baru berIslam setelah ditaklukkan (dalam fathul Makkah) mendapatkan bagian jauh lebih besar dari para sahabat Rasulullah yang terlebih dahulu berIslam.
Melihat pembagian itu, para sahabat Anshar memandang lain. Mereka seakan-akan merasa terlupakan oleh Rasulullah saw. Tak sedikitpun dari sekian harta rampasan perang itu yang diberikan kepada mereka. Rasulullah justru memberikan bagian yang banyak kepada orang-orang yang dulunya amat gigih memerangi dakwah Islam, para orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam. Padahal kaum Anshar lah yang telah memberikan loyalitas penuh dalam berbagai perjuangan kaum muslimin. Sejak menerima dakwah Nabi SAW dengan ramah dan terbuka, menampung kaum Muhajirin dengan penuh keikhlasan, sampai kepada keterlibatan dalam berbagai perang demi membela agama Allah swt.
Akibat kebijakan Rasulullah yang dirasa kurang memuaskan, maka muncullah gejolak di kalangan sahabat Anshar, hingga seorang di antara mereka berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah memberi kepada orang Quraisy dan tak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang menitikkan darah-darah mereka.”
Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah sekarang telah menemukan kembali kaum kerabatnya.”
Melihat gejala yang berkembang itu, Sa’ad bin Ubadah r.a segera melaporkan kepada Rasulullah saw, meskipun ia dapat memahami perasaan kaumnya, akan tetapi terasa tak baik dibiarkan terus berkepanjangan. Mendengar laporan tersebut Rasulullah saw bertanya, ”Bagaimana perasaan kamu sendiri ya Sa’ad ?” Sa’ad menjawab, “Ya Rasulullah, aku adalah bagian dari kaumku.”
“Kumpulkan kaum Anshar di tempat ini,” kata Rasulullah saw.
Segera Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan segenap kaum Anshar, menghadap Rasulullah saw. Setelah semuanya berkumpul, kemudian Rasulullah bertanya kepada mereka :
“Apakah ucapan kalian yang telah sampai kepada saya ?”
Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, para ketua kami tidaklah mengatakan sesuatu pun. Hanya kami para pemuda, yang berkata, “Semoga Allah mengampuni RasulNya. Beliau telah memberi orang Quraisy dan meninggalkan kami, padahal pedang-pedang kamilah yang telah menitikkan darah-darah mereka.”
Rasulullah bersabda, “Hai orang-orang Anshar, bukankah aku datang kepada kalian, sedang kalian dalam kesesatan, lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan perantaraan aku ? Dan kalian dalam kepapaan, lalu Allah memberi kemampuan kepada kalian karena aku ? Dan dulu kalian bermusuhan, lalu Allah mempersatukan kalian karena aku ?”
Kaum Anshar menjawab, “Benar, Allah dan RasulNya amat pemurah dan mengaruniai !”
“Tidakkah kalian menjawab aku wahai kaum Anshar ?” tanya Rasulullah kepada mereka.
“Dengan apa kami harus menjawab engkau ya Rasulullah padahal bagi Allah dan RasulNya semua kemurahan dan keutamaan”, jawab kaum Anshar.
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah yang menghalangi engkau menjawab kepada Rasulullah ?”
“Ya Rasulullah, engkau mendapati kami tengah dalam kegelapan, lalu Allah mengeluarkan kami kepada cahaya lantaran engkau.
Dan engkau mendapati kami tengah di tepi jurang api neraka lalu Allah menyelamatkan kami lantaran engkau.
Dan engkau mendapati kami dalam kesesatan, lalu Allah menunjuki kami lantaran engkau. Maka dari itu kami telah ridha Allah sebagar Tuhan kami, dan Islam sebagai dien kami, dan kepada Muhammad sebagai nabi. Maka berbuatlah sekehendakmu, karena engkau adalah kehalalan, ya Rasulullah “, jawab mereka.
Namun seakan-akan Rasulullah belum mendapatkan jawaban yang tuntas, selanjutnya beliau bersabda kepada mereka :
“Demi Allah, sekiranya kalian mau menjawab seperti ini tentu kalian berhak dan sungguh kalian pasti dibenarkan :
Bukankah engkau (ya Rasulullah) datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami (Anshar) yang membenarkan engkau.
Bukankah engkau dihinakan, lalu kami menolong engkau.
Bukankah engkau datang sebagai orang yang terusir, lalu kami melindungi engkau,
dan engkau dalam kedaan miskin, lalu kami memberi kemampuan kepada engkau.
Engkau datang sebagai orang yang takut, lalu kami mengamankan engkau.
Apakah kalian inginkan sepercik dari sampah dunia itu, ; dimana aku akan menjinakan satu golongan dengan sekelumit keduniaan itu agar mereka masuk Islam, sedang aku menyerahkan kalian kepada keislaman kalian yang kokoh.
Bukankah Allah telah mengutamakan keimanan kalian melebihi mereka, keimanan yang teguh tiada tergadai, tiada pula terbeli harta dunia ?”
Mendengar rentetan pertanyaan Rasul yang menyentuh hati itu, terdiamlah semua kaum Anshar. Tiada terasa menetes air mata keharuan mengingat semua yang telah mereka lalui bersama Nabi yang mulia. Setiap kesulitan dan kesenangan senantiasa selalu mereka bagi bersama Nabi, tidak sesaat pun beliau jauh dari mereka. Segala perang dan pertempuran, setiap tetes keringat dan darah yang tercucur, selalu ada Nabi bersama mereka. Tidaklah mereka melakukan itu karena menginginkan megahnya dunia dan banyaknya harta, akan tetapi sebab kecintaan dan keikhlasan yang mendalam. Mengingat segala memori indah perjuangan itu, tidak sedikit kaum Anshar yang basah janggutnya karena derasnya air mata mengalir.
“Benar ya Rasulullah, kami sungguh telah ridha”, jawab kaum Anshar.
“Hai kaum Anshar ! Tidaklah kalian rela, bahwa orang-orang pergi dengan membawa kambing dan unta, sedangkan kalian kembali dengan membawa Rasulullah ke tempat tinggal kalian
Demi Dzat yang diri Muhammad berada dalam genggamanNya, jika bukan karena hijrah, tentu aku menjadi golongan Anshar !
Jika sekiranya orang-orang menempuh lembah dan tepi gunung, sedang orang Anshar menempuh lembah atau tepi gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan yag dilalui orang-orang Anshar !’ lanjut Rasulullah.
Maka makin dalamlah keharuan perasaan mereka karena Rasulullah. Betapa beliau sangat mencintai dan melebihkan mereka dalam derajat dan keutamaan iman dibanding kaum Quraisy.
Tanpa terasa sebagaian besar kaum Anshar yang tengah berhadapan dengan Rasulullah itu mencucurkan air mata. Tangis yang amat mendalam disebabkan karena kecintaan mereka terhadap Rasulullah, hingga janggut-janggut mereka basah oleh air mata. Akhirnya, mereka serentak menjawab :
“Tentu kami rela ya Rasulullah, jika orang-orang pulang membawa harta dan ternak yang banyak, maka kami kembali ke Madinah bersama Engkau ya Rasulullah. Mereka mendapatkan dunia, maka kami mendapatkan Engkau bersama kami baik di dunia maupun di Akhirat ”
Demikianlah mengapa Nabi yang mulia lebih memilih Madinah sebagai kediamannya hingga akhir hayat, meskipun beliau telah menaklukkan kampung halamannya Makkah.
Madinah adalah kota Nabi, Madinah adalah kota Ilmu dan Iman, Madinah adalah kota bukti kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Itulah kemuliaan hati kaum Anshar, itulah ketulusan iman kaum Anshar, siapakah yang mampu menandinginya hingga hari ini ?
“Ya Allah muliakanlah kaum Anshar, angkatlah derajat mereka, senangkan hati mereka dan jadikanlah kami mangikut jejak teladan mereka”

Leave a comment